Selasa, 23 April 2013

Sendal (tak) Serasi




Air yang mengenai seluruh tubuh begitu menyegarkan pori-pori, otak dan sampai lubuk hati. Ah, mungkin itu berlebihan. Tapi biarlah, karena subuh kali ini begitu sejuk.
Saat keluar dari kamar mandi, terdengar lafads adzan subuh yang terakhir. Dengan tergopoh, Saya masuk kamar untuk berganti pakaian. Kemeja dan sarung. Saat keluar, Saya memperhatikan sendal yang bakal  dipakai. Karena tidak ingin memakai sendal yang bukan pasangannya, seperti kemarin Isya. 
Tentu, karena sesuatu yang tak serasi, akan tidak enak dipandang. Dan mungkin, akan mengundang pertanyaan demi pertanyaan. Kenapa sampai terpakai sesuatu yang tidak serasi. Dari mana sendal itu. Apa yang makai memang lagi meleng. Jangan-jangan sendal nyolong, dan seterusnya. Jika yang melihat seorang penulis. Maka akan keluar rumus eksplorasi ide, 5W+ 1H. Mungkin, akan tercipta kisah yang menarik, dari sendal yang tak serasi. Jika yang melihat orang usil, maka, siap-siaplah mendengar kalimat-kalimat godaan. Yang mungkin bisa membuat berkenan ataupun tidakberkenan.
Padahal yang bersangkutan, hanya terburu-buru ke Masjid karena suara iqomat sudah dikumandangkan.
Beberapa waktu silam, saya pernah mengalami hal yang serupa. Saat tinggal pada sebuah kota untuk menuntut ilmu. Datang ke Masjid, dengan sendal yang layak. Namun saat pulang, sendal milik saya sudah raib. Maka, saya memutuskan pulang, dengan tanpa alas kaki.
Saat itu, persedian uang sedang menipis. Maka, tak ada pikiran yang terlintas untuk membeli sendal baru. Jangankan untuk beli sendal, untuk menyambung hidup pun. Harus benar-benar menghemat. Kadang, seharian perut hanya terisi dua potong ubi. Sepotong dimakan pada jam sepuluh pagi, sepotongnya lagi dimakan jam empat. Mungkin, karena saya tak terbiasa hutang saat itu. Jadi lebih memilih, untuk mengatur keungan sedemikian rupa, agar sampai pada hari pengiriman uang tiba. Bukan soal lima puluh ribu, lima ratus ribu yang saya miliki. Tapi, soal memanfaatkan sesuatu yang ada. Mengkondisikan suatu kondisi
Untung, dikos-kosan ada dua buah sendal, tapi beda warna. Jika, ditanya riwayatnya, mungkin akan lebih panjang lagi ubtuk diceritakan.
Hari-hari, berikutnya sendal yang tidak serasi itu. Yang kerap menemaniku ke Masjid, atau keluar dari kos-kosan. Alasannya tidak macam-macam. Karena tidak punya duit untuk membeli sendal yang baru. Keadaanlah, yang membuat tidak berorientasi pada penampilan, tapi lebih ke arah fungsinya.
Maka pagi ini, saya merasa harus bersyukur, dengan sendal yang serasi. Saya melangkahkan kaki, menyongsong subuh yang sejuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar