Kamis, 17 Mei 2012

ZOMBIE


ZOMBIE


Zombie bagaikan makhluk yang kejam dan mengerikan. Ketika datang pasukannya. Suaranya bergemuruh di dinding-dinding perbukitan dan pegunungan. Laksana dengungan rombongan lebah yang tengah marah.  Siap menyerang apa saja yang ada di depannya.
Kedatangan mereka mengusik kehidupan. Bahkan mereka tega membunuh dengan cara keji dan sadis. Mereka juga suka memakan pasukanku, mereka suka menculik. Yang telah mereka culik pun tak pernah kembali lagi. Mungkin mereka juga telah memakannya. Mereka seperti Drakula dalam dongeng yang suka menghisap darah-darah manusia. Mereka ibarat zionis Yahudi yang tega membunuh penduduk sipil Palestina yang tidak berdosa. Atau mereka seperti pemilik Teori Konspirasi yang di isukan tengah berebut ladang-ladang minyak di negeri-negeri kaya Timur Tengah. Haha… bisa jadi, mereka juga laksana ulat bulu yang pernah menghama di negeri yang namannya Indonesia. Yang konon, pasukan ulat bulu itu bergerilya dari satu propinsi ke propinsi yang lain, dan juga bergerak menuju ke arah Ibu Kota.
Ya, Tidak ada kata lain yang harus di sepakati di sini. Kecuali: Melawan! Perangi!

***
Mereka bisa datang setiap saat. Malam maupun siang, hujan ataupun terang. Ketika mereka mulai datang. Disusul dengan gelegar tawanya yang bagi setiap mendengarkannnya bulu kuduk kontan dibuat merinding. Mereka bisa datang dari arah darat, air dan udara. Mereka memiliki peralatan tempur yang hebat. Bahkan mereka juga memiliki pasukan khusus yang bisa masuk kedalam tanah. Serta raksasa yang besarnya puluhan kali lipat jika di bandingkan dengan pasukan yang lainnya. Mereka bengis, galak, dan sadis.
Tentunnya dengan kondisi semacam ini kekompakkan dan keberanian sangatlah diperlukan untuk melawan mereka. Serta strategi yang cerdas dan handal.
“Itu mereka datang!”  teriak salah satu pasukanku.
“Siap-siap semuannya!”
“Persiapkan juru tembak dari sebelah kiri” Teriak sang komandan.
Dua makluk Zombie datang dari sebelah kiri. Diiringi dengan gelak tawanya yang mengelegar. Lidah mereka menjulur dan liurnya meleleh-leleh.
Tar! Tar!
Buk!
Buk!
Kraus, Kraus, Kraus….
Kentang yang menjadi tameng utama mendapat serangan yang pertama. Zombie memakannya dengan rakusnya. Sementara kacang polong dari jarak cukup jauh dan strategis mulai menembakan pelurunnya. Meski tepat sasaran, tubuh Zombie tidak langsung roboh dan menggelempar. Perlu berapa puluh kali peluru yang mengenainnya. Tanaman Jagung juga tidak kalah membantu melemparkan biji-bijinya. Bagaikan anak-anak palestina yang melempari batu-batu kearah para durjana zionis Yahudi.
Kalau sudah seperti ini, pertempuran bakalan tidak bisa dielakkan lagi. Pasukan Zombie datang dari berbagai penjuru. Awal mulanya memang sedikit lalu mereka akan menambah pasukannya lagi. Bahkan pasukan berikutnya biasannya lebih kuat.
“Aku berhasil merobohkannya!” seru kacang polong bangga.
Nyatannya memang benar, salah satu makhluk Zombie itu telah terkapar, tangannnya putus, kepalannya juga putus. Yang satunnya lagi remuk ajur oleh timpukan biji-biji jagung. Dan dari pasukanku, nasib kentang begitu mengenaskannnya dia dicabik-cabik.
“Awas mereka mulai datang dari arah tengah!” tukas bunga Matahari dari belakang memperingatkan.
“Ini giliranku saja!” teriak labu yang sedari tadi hanya membisu. Lalu labu pun menyongsong ke depan. Persis berhadap-hadapan dengan salah satu makhluk menyeramkan itu. Matanya nanar, siap megeluarka jurus-jurusnnya
Hup! Labu melompat bermaksud menimpa zombie. Tapi dengan lincah zombie itu berkelit kesamping.
Hup!
Labu melompat lagi, dan melompat lagi.
Slep! Slep!
Arkh!
Sebuah anak panah berhasil mengenai Zombie. Dan disusul anak panah lainnya. Zombie pun menggelempar ke tanah. Ternyata Kaktuslah yang telah mengeluarkan aksinnya. Dia memang sedari tadi sudah mengincarnnya.
Tentunnya aku tidak langsung begitu senang atas kemenanngan ini, karena sesaat kemudian suara yang menandakan zombies datang sudah mulai berbunyi lagi, kali ini mereka datang lebih banyak lagi. Tentunya aku mulai menambah pasukanku. Pasukanku pun harus bekerja lebih keras lagi, kacang polong mulai menghamburkan peluru-pelurunnya. Kali ini, ada semangka yang siap melempari buahnya. Ada Cabe dan Strawbery yang juga siap memborbardir pasukan zombie. Sayuran dan buah-buahan yang lain juga siap membantu, tentunnya dengan ciri khasnya masing-masing.
Semuannya bersatu dan saling bahu-membahu untuk mengusir Zombie Si Durjana itu.
Perang pun akan terus berkecamuk hingga di antara kami ada yang kalah. Pasukan zombie akan semakin bertambah, hingga muncul pasukan bawah tanah dan pasukan terbang mereka. dan jika pasukanku belum juga mereka takhlukkan mereka pun akan menghadirkan pasukan pamungkasnya. yaitu raksasa-raksasa Zombie. Tentunnya pertarungan akan semakin bertambah seru, karena semunya menghendaki kemenangan.
Aturan mainnya di sini, adalah, jika pasukanku yang menang, maka di layar monitor akan muncul gambar Berlian dan Tropi. Itu berarti, aku layak untuk mendapat permainan yang model baru dari games Zombies VS plants ini. Hingga semua Tropi harus didapatkan.
Ya, demikianlah, pertempuran barusan memang bukan pertempuran di dalam dunia nyata, pertempuran memang hanyalah ada dalam permainan games.
Aku harus berhenti sejenak dalam permainnan ini, karena tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarku.
Tok, tok, tok.
“Parto, sudah jam tujuh, sekolah tidak?” suara teman yang ngekos di samping kamarku.
“Jam tujuh?”
“Iya, sudah jam tujuh.”
Untuk memastikannya aku mengecek jam di ponselku. Dan segera aku tergopoh-gopoh menuju kekamar mandi. Untuk gosok gigi dan cuci muka saja. Karena aku sudah jelas-jelas terlambat.
***
Ya, peperangan memang akan terus terjadi. Di sepanjang masih ada kehidupan di atas bumi yang tengah kita injak ini. Bahkan Seorang manusia Agung telah memperigatkan seusai perang besar di zamannya. Bahwa, masih ada perang lagi yang lebih besar. Yaitu, perang melawan hawa nafsu sendiri.
Dalam permainan games aku kerap menjadi pemenangnya. Namun di dunia nyatanya, justru aku kerap menderita kekalahan. Seperti pagi ini. Aku harus menghadap guru BP lagi lantaran terlambat sekolah.
Hanya karena permainan games kadang aku  kehilangan waktuku untuk hal yang jauh lebih penting. Justru permainan games malah menjadi salah satu Zombie di antara Zombies yang lainnya, yang menjadi perampok waktu di dunia nyataku.

Kamis, 10 Mei 2012

ADA CINTA DI MATA ROSMAYA

Jatuh cinta itu hal biasa, tapi baru merasakan cintanya seseorang ketika orangnya sudah jauh meninggalkannya serta kondisinya tidak mungkin, itu hal yang tak lazim. Hal ini sedang dialami Parto saat ini.
Pagi hari Jakarta telah diguyur hujan. Parto mencoba bangkit dari tempat tidurnya, namun rasa sakit dibagian bahu dan lehernya seolah menahannya. Sehingga tidak ada perubahan posisi sama sekali. Pelan-pelan dia memiringkan tubuhnya, dan dibantu dengan tangan dia mencoba untuk duduk.
“Aow,” jeritnya sembari memegangi bagian leher.
Dia merasakan seperti ada urat yang terjepit. Diam mencoba lagi untuk duduk, walau dengan susah payah dia akhirnya berhasil.
Sebenarnya rasa sakit di lehernya, sudah dia rasakan semenjak bangun tidur kemarin, namun saat itu belum terlalu sakit, jadi dia tak mempersoalkannya. Setelah dibawa ikut kegiatan bersama teman-temannya. Rasa sakit itu semakin terasa. Dia pun menduga kalau sakitnya disebabkan oleh salah posisi tidur, kemudian ditambah dia membawa tas ransel saat ikut kegiatan, mungkin itu yang menambah rasa sakit. Makanya saat acara belum selesei dia pamit undur diri.
***
Rasa sakit pagi ini, memang tidak terlalu membuat dia sedih, namun sakitnya saat ini membuat ia teringat Rosmaya teman sekolahnya dulu.
Masih membekas dalam ingatannya ketika Parto dulu tengah sakit, elergi obat. Di mana hampir seluruh kulit di tubuhnya melepuhseperti orang terbakar. Untung, waktu itu keluarganya segera membawanya ke Rumah sakit. Bahkan kata dokter kalau telat sedikit saja nyawanya bisa tak tertolong. Saat itu Rosmaya juga menjenguk ke Rumah Sakit bersama teman-temannya. Melihat kondisi Parto Rosmaya hanya mampu menangis terisak-isak. Saat penjenguk lain sudah pamit, Rosmaya memilih untuk menemani Parto. Dia duduk disamping Parto berbaring.
“May, sebaiknya kamu istirahat saja, biar bapakku saja yang menemaniku,” Bisik Parto pelan.
 “Bapakmu kan, cape, Mas, biarlah aku yang menggantikannya… Aku sangat mengkhawatirkanmu, Mas.” Ucap Rosmaya.
Bapak Parto juga ikut membujuk Rosmaya untuk pulang saja, namun Rosmaya tetap pada kemauan hatinya untuk menemani Parto.
Saat orang lain melihat Parto dengan tatapan jijik, Justru Rosmaya dengan tulus bersedia menemani Parto.
Itulah hal yang membuat Parto selalu teringat Rosmaya, disaat-saat dia sakit.
Mungkin saat itu Parto memang kurang peka atas sikap Rosmaya. Pernah juga, dulu pada saat Parto bertadang ke rumah Rosmaya. Secara tidak langsung ada sinyal yang diperlihatkan oleh Rosmaya kepada Parto tentang isi hatinya.
Saat itu Parto ke rumah Rosmaya, dia berniat untuk mengambil buku yang Rosmaya Pinjam, hingga akhirnya mereka terlibat pembicaraan soal cinta.
“Coba tebak, ketika wanita jatuh cinta itu terlihat diapanya?” ucap Rosmaya agak manja.
“Mungkin, matanya,” jawab Parto, asal.
Dan saat Parto ijin mau pulang tiba-tiba Rosmaya menatapnya sembari berkata.
“Apakah engkau melihat cinta di mataku, Mas?”
“Aku tidak tau,” jawab Parto enteng.
 Dia pikir Rosmaya hanyalah bercanda belaka.
***
Bahkan Sinyal itu benar-benar diperlihatkan oleh Rosmaya, saat kakaknya Mba Rina, telah menyuruh dia untuk menerima lamaran salah seorang laki-laki yang mendekati Rosmaya.
“Menurutmu, aku mesti bagaimana, Mas?” ucap Rosmaya terdengar terisak.
Rosmaya menghubungi Parto lewat telpon.
“Bukankah kamu sudah mengambil keputusan,” sela Parto.
“Memang aku telah mengambil keputusan untuk menerima Mas Harun menjadi calon suamiku, namun semua itu karena desakkan dari Mba Rina. Aku tak pernah mencintai Mas Harun,”
Parto ikut bingung dengan apa yang dihadapi Rosmaya, dia merasa harus hati-hati ketika memberikan solusi.
“Mas sejujurnya, aku hanya mencintaimu,” ucap Rosmaya tiba-tiba.
Belum sempat Parto berkata, kalimat yang diucapkan Rosmaya telah membuat dia kaget setengah mati. Dia benar-benar tidak menyangka sebelumnya.
 “May, orang tuak pernah berkata padaku. Ada kalanya kita menikah dengan orang yang kita cintai, dan ada kalanya kita belajar mencintai orang yang menikahi kita.” Itulah kalimat yang akhirnya keluar dari mulut Parto waktu itu.
***
Pagi ini, kisah tentang Rosmaya seperti berputar kembali. Pelan-pelan Parto bangkit dengan masih memegangi lehernya yang semakin terasa sakit. Dibukanya jendela kamarnya. Dia menatap rintik-rintik hujan yang berjatuhan didedaunan pohon belimbing yang berada disebelah kamar kosnya.
Ada rindu yang terasa menelisik dalam dirinya, bercampur dengan rasa bersalah, dan perasaan merasa bodoh. Ia baru mulai menyadarinya, kalau hingga sampai saat ini, dia belum pernah menemukan wanita yang bisa punya cinta terhadap dirinya, seperti cintanya Rosmaya.
Jakarta, 7 Mei 2012

Saat Parto sedang teringat Rosmaya, mulutnya suka berceracau: “Masa lalu biarlah berlalu, masa depan akan datang dengan sendirinya. Perubahan itu, memang terkadang tidak bisa diperkirakan di awal,”




Rabu, 02 Mei 2012

MUTIARA ITU TELAH DICIPTAKAN



Siang itu begitu terik, Parto semakin mempercepat laju sepeda motornya. Dia akan menghadiri sebuah seminar di daerah Lebak Bulus.
Tet.. tet…
“Mata lo pakai!”
Teriak sopir pengemudi mobil yang nyaris menabraknya, saat dia menerobos lampu merah. Memang bukan hanya dia saja yang menerobos lampu yang sudah berganti warna merah itu. Beberapa pengendara sepeda motor lainnya juga. Hal itu memang sering terjadi bila ada posisi nanggung. Nanggung lagi kencang-kencangnya, tiba-tiba lampu berubah menjadi merah.
Mesti kejadian barusan sempat membuat jantungnya mau copot, dia harus bersyukur karena tidak sampai terjadi tabrakan. Parto pun terus melanjutkan laju motornya, namun kali ini dia mengurangi kecepatannya. Jam ditangannya sudah menunjukan jam satu lewat. Sedangkan jadwal seminar adalah jam satu.
“Ah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” gumammnya.
Sesampai di tempat seminar, perbandingan yang begitu kontras dengan penampilan dirinya dan peserta seminar lainnya pun dirasakannya. Peserta lainnya kebanyakan menggunakan Jas dan dasi, sedangkan dia hanya menggunakan setelan kemeja celan, itu pun sudah agak lusuh. Ah, kenapa tadi Pak Edi tidak bilang kalau aku harus pakai pakaian yang pantas ya. Pikirnya.
Memang Sebenarnya tiket yang digunakan untuk bisa mengikuti seminar adalah milik Pak Edi, bosnya. Berhubung Pak Edi lagi ada acara yang lebih penting lainnya. Akhirnya tiket itu diberikan ke Parto.
“Sayang, sudah bayar mahal-mahal kalau tidak di pakai,” kata Pak Edi saat memberikan tiketnya.
***
Sudah hampir setahun Parto bekerja pada Pak Edi. Di situlah parto dikenalkan dengan dengan Multi Level Marketing yang juga sering di sebut Network Marketing.
“Jika kita akan memilih perusahaan yang menjadi patner kita, ada bebarapa hal yang harus diperhatikan,” terang Pak Edi kepada Parto pada saat kegiatan di kantor senggang.
“Apa itu, Bapak,”
“Produknya bagus, planning marketing-nya adil, punya kantor sendiri, …”
Pak Edi menarik napas sejenak. Parto menatap Pak Edi dengan antausias, menunggu Pak Edi melanjutkan perkataannya.
“Up line-nya bertanggung jawab atau tidak,”
“Up line,”
“Iya, orang yang mensponsori kita bergabung menjadi anggota,”
Parto hanya manggut-manggut saat itu, tiba-tiba ada suatu pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Meski agak canggung dia memberanikan diri untuk mengungkapkannya kepada Pak Edi.
“Pak, maaf saya dulu pernah dengar tentang money game, katanya menyerupai MLM, itu gimana?”
Dalam suatu bidang itu memang selalu ada oknumnya, begitu juga dengan suatu bisnis tertentu,” terang Pak Edi.
Parto masih menunjukan raut muka bingung.
“Kamu tak usah, binggung, To… MLM yang sedang kita jalani, adalah MLM yang planing marketing-nya sudah di uji kelayakannya oleh departemen perindustrian dan perdagangan,”
Parto tak berkomentar sepatah kata pun.
“Asosiasi yang melindungi sitem penjualan secara langsung seperti MLM namannya APLI,’
“APLI?”
“Iya, Asosiasi Perdagangan Langsung Indonesia,”
Semenjak itu, Parto jadi mengerti tentang apa tentang bisnis apa yang di jalani Pak Edi. Dia juga diajarai tentang perhitungannya. Tentunya itu merupakan pengalaman yang baru buat Pak Parto. Apa lagi Pak Edi orang yang tak segan-segan untuk membagikan ilmunya. Hampir tiap ada waktu senggang Pak Edi menyempatkan untuk berdiskusi dengan Parto.
“Dari titik-titik pembicaraan seperti inilah, yang jika di gabungkan akan menjadi lingkaran penuh, kamu akan tau akan bisnis kita,”
Di samping menyampaikan secara langsung Pak Edi juga sering mengajak Parto untuk mengikuti Seminar gratis yang di adakan oleh kantornya. Dan sesekali mengajak Parto untuk ikut seminar-seminar pengembangan diri lainnya. Walupun harus berbayar.
Seperti halnya kali, Parto mengikuti Seminar atas rekomendasi Pak Edi.
***
Karena memang datang terlambat, akhirnya Parto mendapat bangku paling belakang. Seminar sudah di mulai, Parto punmengikuti dengan seksama setiap apa yang di sampaikan pembicara. Banyak hal yang membuat dia terkesima dengan apa yang disampaikan pembicara. Terutama kisah tentang empat orang marketing yang harus menjual sisir ke wihara, di mana marketing pertama langsung pesimis, karena tidak mungkin untuk menawarkan sisir ke biksu yang tidak ada rambut. Dia pun gagal. Kemudian di lanjut Marketing yang ke dua berhasil menjual beberapa sisir ke pengunjung wihara, hingga cerita diakhiri dengan keberhasilan Marketing yang ke empat karena berhasil menjual sisir cukup banyak, karena marketing yang ke empat itu berhasil membujuk ke pihak wihara agar menjadikan sisir menjadi salah satu souvenir.
Pembaca pun menerangkan kalau marketing yang pertama adalah marketing yang selalu melihat kesulitan pada suatu kesempatan, sedangkan marketing yang berikutnya adalah marketing yang bisa melihat kesempatan pada suatu kesulitan.
Parto benar-benar terinspirasi sekali dengan hal itu. Dia pun diam-diam berjanji pada dirinya, kalau dia harus memlilki car berpikir seperti marketing yang ke empat.
“Mutiara-mutiara itu telah di ciptakan, meski kita harus mencarinya pada kedalaman seberapapun,” ucap pembicara itu penuh antausias.
“Kalau sudah kita temukan, tinggal kita bersihkan kotoran-kotoran yang melekat pada mutiara itu, sehingga mutiara itu bisa terlihat berkilau,”
Pembicara pun kemudian menerangkan apa yang di samapaikannya itu. tentunya dikaitkan dengan bisnis MLM, dimana kalimat itu diterapkan kepada para pemimpin yang tengah membina bawahannya.
***
Di hari berikutnya, Parto berangkat ke kantor seperti biasanya, dia melakukan aktivitas seperti biasanya juga. Sibuk.
“Gimana dengan seminarnya?” tanya Pak Edi saat mereka tengah makan siang.
Parto segera mengunyah cepat-cepat nasi yang ada di mulutnya. Dia meneguk air dulu sebelum menjawab pertanyaan Pak Edi.
“Mutiara itu telah diciptan, meski kita harus mencapai kedalaman seberapa pun,” jawab Parto agak gugup.
Pak Edi menatap Parto dengan kening berkerut. Dan siap-siap melontarkan pertanyaan berikutnya.

Jakarta, 02 Mei 2012



~ Di saat-saat sendiri Parto juga suka berceracau:  "Aku tak ingin membuat orang yang mencintai dan dicintai olehku, menunggu terlalu lama akan kesuksesanku."

Sabtu, 28 April 2012

MUNGKINKAH BERSEMI KEMBALI?


Sebenarnya Parto tak kuasa  lagi menahan rasa yang meletup-letup dalam dirinya. Siapa lagi kalau bukan kepada Marti, Sang Pujaan hati --cinta lamanya. Namun, segala suasana hatinya belum sempat dia ungkapkan langsung kepada Si Empunya paras jelita itu. Paling dia hanya bisa curhat kepada sahabatnya Si Soleh, yang sebenarnnya nyebelin.
“Semalam habis chatingan sama Marti?” ucap Parto sambil memainkan remot televisi.
“O iya,” jawab Soleh agak ketus.
“Iya,”
“Apa katanya?”
“Baru kali ini dia mengaku kalau aku keren,” ucap Parto bangga.
Soleh yang tadinya sedang leyeh-leyeh berbaring, kontan bangun dan duduk. Menatap Parto dengan roman muka yang sangat serius, tanpa berkedip.
“Serius, Dia bilang seperti itu?
Sambil terus menatap Parto tanpa berkedip Soleh mendekatkan mukannya ke wajah Parto. Kontan, Parto pun langsung menghindar.
Hahaha...
Soleh pun tertawa ngakak, lalu dia kembali menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar kos-kosan, dan mengambil remot yang ada di tangan Parto.
“Jangan sampai telat, meski satu menit pun,” celetuk Parto. Sambil memencet remot televisi yang dipegangnya. Dia telah mengganti ke acara serial Golok Pembunuh Naga.
“Sial,” desis Parto, melirik sahabatnya.
Soleh kembali tertawa ngakak, dia merasa bisa mengerjai sahabatnya itu.
***
Kalau hari Sabtu, Parto berangkat kerja cuma sore saja. Pagi ini dia tengah membaca novel yang baru dibelinya kemarin. Tiba-tiba saja Soleh nongol begitu saja di depan kamar kosnya, denga handuk yang terlilit di pinggang.
“Habis lebaran, aku dengar Marti mau menikah,” celetuk Soleh.
“Terserah!” Parto sebel sambil melempar pensil yang tengah dipegannya itu ke arah Soleh..
“Hahaha... cinta memang membuat orang jadi gila,” ucap Soleh seraya mengeloyor pergi.
Parto benar-benar dibuat sebel oleh perilaku sahabatnya itu. Dia pun lebih memilih diam saja. Dari pada menanggapi ulah si Soleh yang jika di terusin, ledekan Soleh akan semakin menjadi-jadi.
Parto memang pernah mendengar kabar kalau Marti sudah punya gebetan saat kuliah di Jogja beberapa tahun yang lalu. Bahkan yang dia dengar kalau keluarga Marti dan keluarga gebetannya itu sudah saling kenal dan dekat. Waktu itu, galau yang berkepanjangan pun dialaminya. Saat-saat itulah dia akui, kalau Marti memang gadis yang berarti untuk hatinya. Bagaimana tidak, satu-satunya wanita yang mampu menggetarkan hatinya saat mendengar namannya adalah Marti.
“Ah, Marti, kau memang sekuntum mawar merah yang sedang mekar-mekarnya,” gumam Parto, sambil menatapi foto Marti yan terpampang menjadi background di layar monitor laptopnya.
Parto memang berhasil menculik beberapa foto Marti, di koleksi foto di dinding facebook-nya Marti.
“Aku sadari, Marti memang tambah semakin cantik, dan tentunya semakin banyak laki-laki yang ingin menjadikannya menjadi belahan jiwa.” Soleh nongol kembali, kali ini rambutnya terlihat sudah basah.
Parto tidak respon sedikit pun dengan polah sahabatnya itu.
“Yah, begitu saja sudah mutung,” celetuk Soleh cengengesan.
Parto cuma melirik ke arah Soleh yang berdiri di pintu kamarnya.
“Percayalah bro, andaikan Marti di ujung lautan pun, jika memang dia ditakdirkan untukmu, entah bagaimana caranya, dia pasti akan kembali kepadamu.”
“Sudah sana, nggak usah berceracau, sebentar lagi jam sembilan,” ucap Parto.
Soleh pun lenyap dari pintu kamar Parto. Dan nongol lagi  dengan sudah menggunakan seragam kerja.
“Aku tinggal dulu ya Bro, dan renungkanlah kata-kataku yang terakhir itu,” tukas Soleh cengengesan, seraya mengeloyor pergi.
Sepeniggalan Soleh, Parto kembali asyik dengan menatap wajah jelita di layar monitor laptopnya. Lalu mengaktifkan sebuah lagu galau. Some one like you.

Jakarta, 28 April 2012




~ Yang Parto tau cintanya kepada Marti masih untuh seperti dulu. Namun, dia akan tidak bahagia jika orang yang dicintainya juga tidak bahagia kalau dengan terpaksa menerima cintanya. Biarlah suatu saat kelak Marti sadar, kalau Parto adalah laki-laki yang benar-benar mencintainya.
"Kuharap kelak kau akan cintai aku, saat kau tau kalau aku setia menunggumu," begitu ceracaunya.








Senin, 23 April 2012

BAYANGKANLAH HAL YANG INDAH


Soim, saat ini harus berhadapan dengan dengan hal yang sebelumnya belum pernah dia hadapi, dia harus dioperasi. Dia menogok kearah pasien yang ada di sebelah kiri ranjangnya. Dilihatnya laki-laki setengah baya yang merintih-rintih. Dan seorang wanita setengah baya pula yang tengah menunggui laki-laki itu.
“Mas, mau operasi juga, ya?”
Sebuah suara tiba-tiba mengagetka dirinya. Dia pun membalikan badanya. Seorang laki-laki tua yang tengah berbaring di ranjang sebalah kanan ranjangnya, menatap ke arahnya. Soim pun mengangguk santun.
“Iya, Pak,” jawabnya.
“Bayangkanlah hal yang indah,” ucap laki-laki tua itu lagi.
“Maksud Bapak?” Soim menatap bingung laki-laki tua itu.
“Saat menghadapi operasi nanti, bayangkanlah hal yang indah,” tegasa laki-laki tua itu.
“Hal yang indah?”
“Iya, betul sekali. Mas, harus berpikir bahwa operasinya bakal berhasil, peralatan operasinya canggih, dokternya juga ahli,”
“O begitu ya, Pak.”
“Iya... dan yang terpenting berpikirlah, kalau sesudah operasi nanti kamu akan lebih baik, lebih produktif,” sambung laki-laki tua itu.
Soim hanya manggut-manggut. Dia menatap laki-laki tua di hadapannya itu.
“Bapak, juga mau operasi?” pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulut Soim.
“Saya?”
“Iya.”
“Malam lalu saya baru di opersi, persis sesudah Bapak di sebalah,” ucap laki-laki tua itu sambil tangannya menunjuk ke arah Laki-laki setengah baya yang tengah merintih-rintih di ranjang sebelah kiri Soim.
Soim pun menoleh ke arah yang di maksud kemudian menatap lagi laki-laki tua di hadapannya itu. Dia baru menyadari kalau ada situasi yang berbeda dengan ke dua orang tersebut, walau keduanya sama-sama baru menjalani operasi. Yang satu merintih-rintih, yang satunya begitu tenang.
“Bapak operasi apa?”
“Operasi Hernia,”
“Hernia?”
“Iya.”
“Mas, kok nggak ada yang ngantar ,” laki-laki tua itu balik bertanya.
“Saya ditemani  Ayah saya, kebetulan beliau sedang ngurus administrasinya,” jawab soim.
“O,”

***
Keputusan Soim untuk operasi, memang sudah bulat. Hernia sudah dideritanya semenjak satu tahun setengah yang lalu. Berbagai pengobatan alternatif pun telah di cobanya, baik mengkonsumsi obat herbal, jamu-jamuan, hingga di urut. Dia juga memakai “celana dalam khusus”. Namun semua itu tidaklah menjadi solusi.
“Hernia itu, usus yang keluar dari tempatnya, karena dinding Abdomen bagian bawah itu sobek, tak mungkin sobekan itu akan rapat kembali kalau di tidak di operasi,’’ saran Nizar teman karibnya.
“Aku tau, Niz. Namun aku harus menunggu cukup puny uang untuk melakukan operasi, dan aku tidak ingin mebebankan semua itu kepada orang lain, termasuk keluargaku,” tanggapnya.
Soim membenarkan apa yang dikatakan Nizar, kalau dia harus sesegera mungkin untuk melakukan operasi.
Dengan pertimbangan yang panjang itulah dia lantas minta ijin kepada Bos di tempat kerjannya untuk cuti. Bosnya yang memang sudah tau tentang Hernia yang diderita Soim, langsung mengijinkannya. Bahkan Bosnya itu memberi waktu kepada Soim untuk benar-benar sembuh.
“Ini, ada sedikit uang, barangkali sedikit membantumu,” ucap Bosnya sambil menyodorkan amplop warna coklat.
“Iya, terima kasih,”
***
“Bapak Soim silahkan, mengganti pakaiannya,” ucap salah seorang suster yang membawa pakaian operasi.
Soim pun segera mengganti pakaian di kamar mandi yang memeng disediakan untuk pasien-pasien yang ada di ruang itu. Setelah selesei ganti dengan pakaian operasi. Dia diantar oleh perawat cantik itu ke ruang operasi dengan menggunakan kursi roda.
Soim mulai mempraktekkan, apa yang di ucapkan oleh laki-laki tua. Membayangkan yang indah, agar luka tak selamanya menyakitkan.
Jakarta, 23 April 2012



 
~ Saat akan menghadapi operasi, Soim benar-benar mensugesti dirinya. Kalau operasinya akan berhasil, dokter yang melakukannya ahli, alat yang dipakai canggih, dan yang tak kalah penting dia membayangkan kalau sesudah operasi nanti dia akan lebih produktif lagi.
"Tak selama luka itu terasa menyakitkan!" ceracaunya.