Kamis, 02 Mei 2013

Lansia, tak Sunyi (lagi)




“Omaa, mobil jemputan sekolahnya sudah datang!”
Agaknya lucu, jika kalimat itu dilontarkan oleh seorang cucu kepada Oma-nya. Membayangkan hal itu, saya jadi tersenyum sendiri.
Hal itu berawal ketika salah  Seorang lansia berumur 90-an yang datang ke tempat kerja saya.Beliau adalah salah satu siswa di sekolah lansia. Katanya, bermacam-macam fasilitas di sana. Dari ruang belajar dan aneka mainan. Sampai mobil jemputan.
Setelah mengarungi kehidupan yang bisa jadi sangat melelahkan--- bisa jadi menyenangkan. Maka akan tiba waktunya kemampuan fisik akan menurun. Sehingga, mau tidak mau, berbagai aktivitas yang digeluti. Perlahan-lahan porsinya dikurangi. Atau bahkan, berhenti sama sekali. Lalu mereka akan menjadi penunggu rumah sejati. Sedangkan, anak-anak mereka sudah punya fokus sendiri-sendiri. Cucu-cucnya pun begitu. Apalagi di kota besar seperti  Jakarta. Yang mobilisasinya begitu deras, begitu berliku, dan begitu beragam. Adalah hal yang sangat mungkin, para lansia kurang mendapat perhatian yang cukup. Sehingga kesunyian melanda hari-harinya.
Fenomena itu, jika tercium oleh orang yang peka dan kreatif, maka akan menumbuhkan ide. Pengasuh lansia, yang biasanya berasal dari orang yang basic pendidikan kesehatan maupun tidak. Biasanya ada yayasan yang menyediakan jasa ini. Mereka akan memberikan ketrampilan, sebelum para mitranya terjun kelapangan. Tentunya hal yang paling penting di sisni adalah pengetahuan tentang lansia. Baik mengenai fisik, emosi, maupun lainnya. Karena para pengasuh inilah yang nantinya bakal menemani hari-harinya, memperhatikan kebutuhan lansia secara komprehensif, baik fisiknya maupun emosinya. Maka, memiliki rasa empati adalah modal dasar yang harus dimiliki dalam hal ini.
Kembali kepada cerita di atas, tentang sekolah lansia. Tentu, Itu adalah ide yang sangat cemerlang. Karena itu bisa membuat hubungan simbiosis mutualisme. Buat Lansia,  mereka bisa bertemu sesama usianya.Memberdayakan otak mereka untuk terus berpikir, bisa menghambat kepikunan. Sedangkan buat pemilik sekolah,  juga demikian. Walaupun dari sisi keuntangan yang berbeda.
Ya, ya, ya ... ada fenomena, maka akan munculah ide. Tergantung kita akan melihat dari sisi mana. Sisi sosial, sisi bisnis, atau sisi lainnya. Terserah kita, dan itu sah-sah saja.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!


Rabu, 24 April 2013

Sepaket Keripik Pedas dan Es Krim Cokelat




Berapa waktu yang lalu ada seorang sahabat yang memberi masukan-masukan pada tulisan saya melalui chat. SPOK-nya masih belum pas. Tentu, saya berterima kasih atas hal itu. Karena peran sahabat, bukan hanya sekedar berada dalam suka dan duka yang kita miliki. Tapi bisa memberi nasihat bila ada kekhilafan, memberi kritik bila ada ketidakpasan, memberi pujian bila memang pantas dipuji. Meminjam istilah seorang gadis cantik yang cerdas.  Sepaket Kripik Pedas dan Es Krim Cokelat.
Respon? tentu saja saya langsung merespon, karena itu kebaikan buat saya. Apalagi saya masih sangat bodoh dalam soal tulis-menulis.
Dan sore itu juga, saya berniat untuk membeli buku Komposisi Bahasa Indonesia, atau sejenisnya. Sayang, hujan cukup lebat. Perlu cukup pertimbangan untuk sekedar memutuskan keluar dari kediaman.
Memutuskan?
Kata memutuskan, tiba-tiba menyusup dalam pikiran saya. Memutuskan adalah ujung dari pertimbangan. Memutuskan tanpa pertimbangan itu membabi buta. Pertimbangan tanpa keputusan itu sia-sia. Dalam permainan catur saja, perlu kehati-hatian dalam melangkahkan bidak-bidaknya. Jangan sampai karena terlalu bernafsu menyerang, tapi lupa dengan pertahanannya. Tapi juga sebaliknya, jangan sampai karena terlalu asyik membangun pertahanan, lupa membuka langkah menyerang. Ya, strategi pertahanan juga harus dibangun, seiring dengan membuka langkah untuk menyerang. Melihat medan adalah keharusan. Karena kita perlu tahu, langkah lawan main kita. Belum lagi, suara penonton yang tak sabar dengan proses pertandingan. Ya, semua hal itu, bisa sangat mempengaruhi suatu kecantikan permainan. Karena, kecantikan permainan, itu yang akan dikenang oleh lawan maupun kawan. Terlepas kita akan menjadi pemenangnya ataupun tidak.
Ah, hal itu bisa jadi berlaku untuk hal lain, bisa jadi juga tidak ...
Kenapa saya mesti menelaah hal tersebut, aneh-aneh saja saya ini. Bukankah tadinya, saya hanya ingin ke toko buku. Hehehe....
Akhirnya saya memutuskan untuk menerjang hujan sore itu, tanpa  sepeda motor saya.  Biarkan dia merana sendirian di garasi.
Menyingsingkan celana, sampai dibawah lutut, lalu menyambar payung. Melangkahkan kaki, pada rintik-rintik hujan yang demikian elok menari di atas jalan.
***
Senyum penjaga toko buku, menyapa saya sesampai di sana. Saya, menuju pada rak buku tentang ketata bahasaan. Tidak sukar untuk menemukan buku Komposisi Bahasa Indonesia.  Saya, jadi gelap mata kalau sudah di toko buku. Kalau tidak melihat ukuran kantong.  Banyak buku yang ingin saya beli. Padahal, diperpustakaan mungil saya di kos-kosan. Ada puluhan buku yang sudah saya beli, dan belum sempat dibaca. Salah satunya adalah bukunya Ibnu Khaldun, Mukaddimah, yang tebalnya lebih dari seribu halaman.
Dan sore itu, satu kantong plastik berisi dua belas buku. Siap dibawa pulang.
Dalam langkah kaki pulang, sore itu, saya mengucapkan terima kasih, kepada semuanya yang telah tidak bosan mengirimkan sepaket keripik pedas dan es krim cokelat....:D









Selasa, 23 April 2013

Sendal (tak) Serasi




Air yang mengenai seluruh tubuh begitu menyegarkan pori-pori, otak dan sampai lubuk hati. Ah, mungkin itu berlebihan. Tapi biarlah, karena subuh kali ini begitu sejuk.
Saat keluar dari kamar mandi, terdengar lafads adzan subuh yang terakhir. Dengan tergopoh, Saya masuk kamar untuk berganti pakaian. Kemeja dan sarung. Saat keluar, Saya memperhatikan sendal yang bakal  dipakai. Karena tidak ingin memakai sendal yang bukan pasangannya, seperti kemarin Isya. 
Tentu, karena sesuatu yang tak serasi, akan tidak enak dipandang. Dan mungkin, akan mengundang pertanyaan demi pertanyaan. Kenapa sampai terpakai sesuatu yang tidak serasi. Dari mana sendal itu. Apa yang makai memang lagi meleng. Jangan-jangan sendal nyolong, dan seterusnya. Jika yang melihat seorang penulis. Maka akan keluar rumus eksplorasi ide, 5W+ 1H. Mungkin, akan tercipta kisah yang menarik, dari sendal yang tak serasi. Jika yang melihat orang usil, maka, siap-siaplah mendengar kalimat-kalimat godaan. Yang mungkin bisa membuat berkenan ataupun tidakberkenan.
Padahal yang bersangkutan, hanya terburu-buru ke Masjid karena suara iqomat sudah dikumandangkan.
Beberapa waktu silam, saya pernah mengalami hal yang serupa. Saat tinggal pada sebuah kota untuk menuntut ilmu. Datang ke Masjid, dengan sendal yang layak. Namun saat pulang, sendal milik saya sudah raib. Maka, saya memutuskan pulang, dengan tanpa alas kaki.
Saat itu, persedian uang sedang menipis. Maka, tak ada pikiran yang terlintas untuk membeli sendal baru. Jangankan untuk beli sendal, untuk menyambung hidup pun. Harus benar-benar menghemat. Kadang, seharian perut hanya terisi dua potong ubi. Sepotong dimakan pada jam sepuluh pagi, sepotongnya lagi dimakan jam empat. Mungkin, karena saya tak terbiasa hutang saat itu. Jadi lebih memilih, untuk mengatur keungan sedemikian rupa, agar sampai pada hari pengiriman uang tiba. Bukan soal lima puluh ribu, lima ratus ribu yang saya miliki. Tapi, soal memanfaatkan sesuatu yang ada. Mengkondisikan suatu kondisi
Untung, dikos-kosan ada dua buah sendal, tapi beda warna. Jika, ditanya riwayatnya, mungkin akan lebih panjang lagi ubtuk diceritakan.
Hari-hari, berikutnya sendal yang tidak serasi itu. Yang kerap menemaniku ke Masjid, atau keluar dari kos-kosan. Alasannya tidak macam-macam. Karena tidak punya duit untuk membeli sendal yang baru. Keadaanlah, yang membuat tidak berorientasi pada penampilan, tapi lebih ke arah fungsinya.
Maka pagi ini, saya merasa harus bersyukur, dengan sendal yang serasi. Saya melangkahkan kaki, menyongsong subuh yang sejuk.

Sabtu, 20 April 2013

Peringatan Hari Kartini dan Kebaya





Sebenarnya, sudah dari kemarin saya ingin menuliskan tentang peran serta wanita. Namun di beberapa paragraf sudah mentok. Kemudian saya menuliskannya lagi dari angel yang lain. Itu pun sama. Mentok. Mungkin karena otak saya sedang jongkok. Ya, kalau alasan lainnya, yang mungkin terkesan ngeles. Ya, karena banyak hal yang sedang saya pikirkan. Hehe ....
Maka, pagi ini saya mencoba merangkai puzzle-puzzle tulisan saya kemarin yang terpotong-potong ....
Dari jaman dahulu sampai sekarang peran serta wanita telah mewarnai sejarah kehidupan. Begitu pula dalam sejarah di nusantara. Telah kita kenal para pahlawan-pahlawan wanita  yang aksinya menggetarkan. Nama-nama seperti Raden Ajeng Kartini, Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.
Terlepas dari itu, banyak wanita-wanita hebat lain yang barangkali tidak terekspos. Yang selalu menjadi pertanyaan pada benak saya, dan mungkin benak kita semua. Siapakah para wanita yang telah melahirkan dan merawat para pemimpin besar di negeri ini. Siapa pula para pendamping mereka. Karena, tak bisa dipungkiri, di belakang seorang laki-laki yang hebat, pasti ada wanita yang menghebatkannya. Yang demikian rela, dan tak menonjolkan diri. Ya, tentu ada sebuah kecerdasan emosi di sana. Kecerdasan yang tidak kekanak-kanakkan. Karena bisa menempatkan diri, mana yang memang harus muncul dipermukaan, mana yang tidak. Walupun sama-sama punya peran yang penting.
 Tentunya dalam konteks di atas, ingin saya katakan bahwa, banyak pahlawan-pahlawan wanita. Yang terekspos maupun takterekspos dalam sejarah bangsa kita.
Dalam kaitan dengan salah satu Pahlawan Wanita yang diperingati hari ini. Yaitu Raden Ajeng Kartini. Saya jadi ingat, masa-masa dulu di daerah. Di mana peringatan kartini, seperti sebuah pesta kebaya. Ada-tidak ada, diada-adakan. Banyak para orang tua, yang kemudian hutang  untuk menyewa kebaya dan membayar tukang rias.  Karena sekolah anaknya mewajibakan, berkebaya pada peringatan hari kartini. Mungkin hal ini juga sampai sekarang.
Ya, tidak menafikan bahwa hal ini, membawa berkah tersendiri, buat tukang rias. Dan tukang ojek juga terkena imbasnya. Karena rupanya, para anak-anak  yang sudah mengenakan kebaya, tidak mau berdesak-desakkan naik angkot. Mungkin takut, kalau berdesak-desakkan, jadi berkeringat, dan bedak yang mereka pakai jadi luntur.
Nampaknya, memakai kebaya dalam peringatan hari Kartini, bukan hal yang asing buat kita. Padahal itu baru dari eksplorasi fisik semata. Tak ada yang salah dalam pemakaian kebaya di sini. Saya cuma ingin katakan bahwa, bagi yang di hari kartini, tidak sempat/dapat memakai kebaya. Jangan bersedih. Karena masih banyak sisi karakter Kartini yang bisa diteladani, tanpa harus membayar sewa kebaya dan tukang rias.
Sampai di sini saya jadi teringat, kalau dulu saya pernah membacakan puisi. Pada lomba baca puisi di sekolah. Tentu disaksikan oleh teman-teman cantik saya yang memakai kebaya. Ya, saya cuplikan endingnya saja, begini:
Wahai anak perawan
Jangan sampai mimpimu kesiangan
Karena, sehabis gelap terbitlah terang
lalu setelah itu ... gelap lagi.
Kontan bebarapa teman cantik saya yang memakai kebaya. Ada yang melotot. Mungkin mereka yang suka kesekolah datang kesiangan. Hehehe ....







Jumat, 19 April 2013

Ada Tersirat, Cintanya Seorang Sahabat





Ketika memasuki ruang keramaian seperti pasar, terminal, stasiun, dll. Waspada menjadi kata keharusan. Karena pencopet, penjambret, tukang tipu, ataupun modus kejahatan lainnya. Seolah tengah menunggu kelengahan.
Pun halanya dengan diri saya waktu itu, saat memasuki stasiun di selatan Jakarta. Dompet yang tadinya berada di saku celana bagian belakang. Saya pindah ke saku bagian depan. Apakah itu, sudah cukup aman? belum tentu.
Karena, saat memasuki gerbong kereta, ada seorang yang berteriak kecopetan HP. Konsentrasi saya pun beralih kepada kegaduhan itu. Orang yang merasa kehilangan HP itu, kemudian keluar gerbong. Saya kira dia akan mencari HP-nya. Saat tangansaya meraba ssaya, dimana tempat dompetsaya berada. Ternyata dompet telah raib. Saya baru ‘ngeh’ kalau peristiwa itu hanya modus belaka ....
Kalut? mungkin ...
Betapa tidak manusiawinya yang tega megambil dompet. Yang di dalamnya berisi uang untuk menyambung hidup seseorang sampai akhir bulan.
Pada titik itu, saya punya keyakinan. Bahwa ada yang Maha Memberi Sandaran, dikala tak ada tempat lain untuk bersandar.
Dengan gontai saya berjalan, menyusuri jalan beraspal yang memanas. Tujuan sama, seperti tujuan semula, yaitu tempat seminar. Cuma, seharusnya bisa naik angkot. Sesampai di di  gedung. Saya duduk di kursi tunggu. Tangan saya meraba sebuah benda batangan berada di saku kemeja.  Ya, HP.
Untung HP tidak ikut raib. Meski isi pulsa sangat minim. barangkali hanya bisa untuk sms saja.  Buru-buru saya kabari salah satu teman untuk menjemput.
Teman saya datang setelah seminar hampir selesei. Tentu kedatangannya ibarat malaikat penolong buat saya.
Ternyata ada cintanya seorang sahabat yang tersirat dalam peristiwa itu. Tentunya, berbeda dengan cintanya kekasih yang kerap memabukan. Hehehe ...
Aku masih ingat kata-katanya, "Jika kamu sukses nanti, kisah ini adalah sejarah buatmu.”
Saya selalu suka caranya membesarkan hati orang lain.